Jumat, 26 Agustus 2011

KONSEP BUDAYA MUTU


Meningkatnya intensitas dan tingkat persaingan biasanya juga akan diikuti dengan semakin tingginya kualitas para pesaing yang terlibat. Sebagai contoh, Shandy adalah perenang yang sering merajai lomba renang di Indonesia. Dalam seleksi Olimpiade, ia terpilih untuk mewakili kontingen Indonesia. Untuk menghadapi Olimpiade tersebut, Shandy mempersiapkan dirinya sebagaimana biasanya bila ia menghadapi kejuaraan renang di dalam negeri, Ternyata di arena Olimpiade, lawan-lawan yang ia hadapi jauh lebih tangguh dan berkualitas daripada yang biasa dihadapi, bahkan jauh di atas yang pernah ia bayangkan. Untuk pertama kalinya ia tidak dapat meraih satu medali pun dalam suatu kejuaraan renang. Dengan demikian terlihat bahwa untuk menghadapi persaingan yang kelasnya lebih tinggi dibutuhkan persiapan yang jauh lebih matang.
Dalam era teknologi maju seperti sekarang ini, tidak ada satu pun perusahaan yang tidak terkena dampak globalisasi. Bukan hanya perusahaan besar dan multinasional, tetapi perusahaan kecil juga menghadapi persaingan global.

KUALITAS, PROFITABILITAS, DAN DAYA SAING
Dalam era perdagangan bebas (liberalisasi perdagangan) se­bagaimana yang telah disepakati dalam kerangka AFTA, APEC, dan IVTO, setiap perusahaan harus menghadapi persaingan ketat de­ngan perusahaan-perusahaan dari seluruh dunia. Meningkatnya intensitas persaingan dan jumlah pesaing juga menuntut setiap perusahaan untuk selalu memperhatikan kebutuhan dan keinginan konsumen serta berusaha memenuhi apa yang mereka harapkan dengan cara yang lebih memuaskan daripada yang dilakukan para pesaing. Perhatian suatu perusahaan tidak terbatas pada produk itau jasa yang dihasilkan saja, tetapi juga pada aspek proses, sumber daya manusia, dan lingkungan. Dewasa ini perhatian terhadap aspek lingkungan hidup semakin besar. Ini tercermin pada makin maraknya tuntutan terhadap ecolabeling, green marketing, dan gerakan-gerakan cinta lingkungan. Dengan demikian lingkungan yang dihadapi suatu perusahaan semakin kompleks. Hanya perusahaan yang benar-benar berkualitas yang dapat bersaing dalam pasar global.
Pada dasarnya setiap perusahaan menghadapi lima kekuatan atau faktor persaingan seperti yang dikemukakan oleh Porter (1980, 1985), yaitu pesaing dalam industri yang sama, bargaining power pemasok, bargaining power pembeli, ancaman pendatang baru, dan ancaman dari produk substitusi (lihat Gambar 3-1). Faktor-faktor penentu persaingan pada masing-masing kekuatan persaingan tersebut adalah sebagai berikut:
I.     Faktor penentu persaingan
1.    Pertumbuhan industri
2.    Biaya tetap/nilai tambah
3.    Kelebihan kapasitas intermiten
4.    Diferensiasi produk
5.    Identitas merek
6.    Biaya beralih pemasok
7.    Konsentrasi dan keseimbangan
8.    Kompleksitas informasi
9.    Ragam pesaing
10.  Corporate stakes
11.  Hambatan keluar

II.   Perintang Masuk
1.    Skala ekonomis
2.    Diferensiasi produk
3.    Identitas merek
4.    Biaya beralih pemasok
5.    Kebutuhan modal
6.    Akses ke dalam jaringan distribusi
7.    Keunggulan biaya absolut, berupa:
   Kurva pengalaman
   Akses ke sumber input yang diperlukan
   Desain produk berbiaya murah
 

GAMBAR
Pendatang Baru







Sumber :  Porter, M.E. (1985}, Competitive Advantage New York: The Free Press, p. 5.
Gambar 3-1 Lima Kekuatan Persaingan
8.    Kebijakan pemerintah
9.    Expected retaliation
III.  Faktor Penentu Kekuatan Pemasok
1.    Diferensiasi input
2.    Biaya beralih pemasok dari pemasok dan perusahaan dalam industri
3.    Adanya input substitusi
4.    Konsentrasi pemasok
5.    Pentingnya volume penjualan bagi pemasok
6.    Biaya relatif terhadap pembelian total dalam industri
7.    Dampak input terhadap pembelian total dalam industri
8.    Ancaman integrasi ke depan relatif terhadap ancaman in-tegrasi ke belakang oleh perusahaan dalam industri.
IV.  Faktor Penentu Ancaman Produk Substitusi
1.    Harga dan kinerja produk substitusi
2.    Biaya beralih pemasok
3.    Kecenderungan pembeli terhadap produk substitusi
V.   Faktor Penentu Kekuatan Pembeli
A.   Penentu Posisi Bargaining Power Pembeli
1.  Konsentrasi pembeli dibandingkan dengan konsentrasi perusahaan
2.  Volume pembeli
3.  Biaya beralih pemasok dari pembeli relatif terhadap biaya beralih pemasok dari perusahaan
4.  Informasi pembeli
5.  Kemampuan melakukan integrasi balik
6.  Produk substitusi
7.  Pull-through
B.    Kepekaan Harga
1.  Harga/total pembelian
2.  Diferensiasi produk
3.  Identitas merek
4.  Dampak atas kualitas/kinerja
5.  Laba pembeli
6.  Insentif pengambil keputusan

Kompleksitas persaingan suatu industri menyebabkan setiap perusahaan harus selalu berusaha meningkatkan kualitasnya agar kepuasan pelanggan dapat terwujud. Kualitas yang ingin dipenuhi harus dilihat dari sudut pandang pelanggan. Sudut pandang pasar atau pelanggan tersebut juga merupakan hal yang penting dalam merancang suatu sistem dan manajemen baru. Demikian pula halnya dengan penerapan TQM dalam suatu perusahaan. Peran dan tanggungjawab divisi dan manajer harus dilihat dari sudut pandang Untuk mencapai kepuasan pelanggan.
Perspektif TQM terhadap kepuasan pelanggan pada hakikat-nya adalah bahwa pelanggan merupakan penilai terakhir dari kuali­tas sehingga prioritas utama dalam jaminan kualitas adalah memiliki piranti yang handal dan sahih mengenai penilaian konsumen terhadap perusahaan. Untuk itu diperlukan kerangka dalam manajemen kualitas yang didasarkan pada dua alasan pokok, yaitu:
1.    Orientasi pemasaran
Perusahaan berusaha memenuhi semaksimal mungkin kebutuhan dan persyaratan yang ditetapkan pelanggan. Di samping itu perusahaan juga berupaya meningkatkan pangsa pasar, efisiensi, serta produktivitas.

2.    Orientasi internal perusahaan
Perusahaan berusaha menghindari losses, spills, waste, dan scrap. Selain itu juga diusahakan adanya maksimalisasi usaha karyawan, penghematan energi sumber daya manusia, dan pengidentifikasian peluang pemecahan masalah betapapun kecilnya.
Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa kualitas bukan-ih hasil dari kombinasi faktor-faktor kebetulan. Oleh karena itu ualitas harus didefinisikan, dirancang, direncanakan, dan dilak-anakan secara tepat. Sehubungan dengan itu Lawrence Crosby lengembangkan suatu kerangka perpaduan kualitas seperti terli-at pada Gambar 3-2.
Model ini terdiri atas 2 piramida. Bagian atas piramida ber-ujud teori tentang bagaimana pelanggan menilai perusahaan, mg menggambarkan 'perceived quality' eksternal. Sedangkan bagian bawah merupakan hirarki dari unsur organisasi itu sendiri, ing merupakan kualitas internal. Kedua piramida tersebut harus padukan sehingga tercipta kualitas menyeluruh.
Kualitas dan kepuasan pelanggan berkaitan sangat erat. ualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk enjalin ikatan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perusahaan untuk mema-uni dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan mereka. engan demikian perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan di mana perusahaan memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan atau eniadakan pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan.

Pada gilirannya kepuasan pelanggan dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan kepada perusahaan yang memberikan kualitas memuaskan.


GAMBAR KURVA







Sumber :   Crosby dalam Pawitra (1933), "Kepuasan Pelanggan sebagai Keunggulan Daya Saing: Konsep, Pengukuran, dan Implikasi Sralegik", Jurnal Manajemen Prasetiya. Mulya, Volume I, No. 1, p.4.
Gambar 3-2 Kerangka Perpaduan Kualitas
Perusahaan dapat meningkatkan pangsa pasarnya melalui pemenuhan kualitas yang bersifat customer-driven. Hal ini akan memberikan keunggulan harga dan customer value. Customer value merupakan kombinasi dari manfaat dan pengorbanan yang terjadi apabila pelanggan menggunakan suatu produk atau jasa guna memenuhi kebutuhan tertentu (Bounds, et al., 1994, p. 64). Bila kualitas yang dihasilkan superior dan pangsa pasar yang dimiliki besar, maka profitabilitasnya terjamin. Dengan demikian kualitas dan profitabilitas berhubungan erat. Perusahaan yang menawarkan produk atau jasa superior pasti dapat mengalahkan pesaingnya yang menghasilkan kualitas inferior.
Kualitas juga dapat mengurangi biaya. Adanya pengurangan biaya ini pada gilirannya akan memberikan keunggulan kompetitif aerupa peningkatan profitabiiitas dan pertumbuhan. Kemudian iedua faktor ini dapat memberikan sarana dan dana bagi investasi ebih lanjut dalam hal perbaikan kualitas, misalnya untuk riset dan aengembangan. Secara sederhana manfaat dari kualitas yang su­perior antara lain berupa:
1.    Loyalitas pelanggan yang lebih besar
2.    Pangsa pasar yang lebih besar
3.    Harga saham yang lebih tinggi
4.    Harga yang lebih tinggi.
5.    Produktivitas yang lebih besar.

Semua manfaat di atas pada gilirannya mengarah pada peningkatan daya saing berkelanjutan dalam organisasi yang mengupayakan pemenuhan kualitas yang bersifat customer-driven. Dalam jangka panjang perusahaan demikian akan tetap survive dan nenghasilkan laba.

K0MPONEN-KOMPONEN PENUNJANG DAYA SAING
Dalam suatu sistem perekonomian yang global dan saling terkait, daya saing perusahaan-perusahaan yang ada dipengaruhi oleh kondisi makro, seperti sistem politik, sosial, ekonomi, hankam, lan lain-lain. Umumnya kekuatan ekonomi suatu negara juga dipengaruhi daya saing dan kekuatan perusahaan-perusahaan rang ada di negara tersebut. Dalam konteks suatu negara, indikator status daya saing yang sering digunakan adalah:
1.    Standar hidup, biasanya berupa Gross National Product (GNP) per kapita.
2.    Investasi, yaitu persentase GNP yang ditanamkan dalam sector pendidikan, peralatan, fasilitas, dan riset pengembangan.
3.    Produktivitas pemanufakturan, yaitu jumlah output yang dihasilkan oleh setiap karyawan sektor manufaktur.
4.    Perdagangan, yaitu pertumbuhan ekspor dan surplus perdagangan.







Sumber :   Ross (1994), Total Quality Management: Text, Cases, and Readings. Lon­don: Kogan Page Limited, p. 10.
Gambar 3-3 Manfaat Kualitas
Ada beberapa komponen dasar yang bermanfaat dalam men-dukung peningkatan daya saing, yaitu kebijakan industri, teknologi, dan surnber daya manusia.

Kebijakan Industri
Untuk menciptakan keunggulan kompetitif berkelanjutan diper-lukan kerja sama yang harmonis antara pemerintah dan sektor swasta. Hubungan tersebut dituangkan dalam bentuk kebijakan industri yang bertujuan untuk menyediakan insentif yang dapat mendorong bisnis untuk berperilaku yang mengarah pada pe­ningkatan daya saing dan menyingkirkan rintangan-rintanganyang niengurangi daya saing. Komponen-komponen yang diperlukan dalam kebijakan industri tersebut meliputi:
   Investasi dalam penelitian dan pengembangan
   Perluasan sektor industri
   Pemantauan praktik-praktik pemanufakturan terbaik
   Investasi dalam infrastruktur teknologi tinggi
   Alih teknologi
   Ekspor industry
   Reformasi dan investasi pendidikan
   Insentif pajak

Teknologi
Teknologi merupakan penjelmaan secara fisik dari pengetahuan. Oleh karena itu, di dalam lingkungan kompetitif di mana pengeta­huan menduduki peranan vital, teknologi yang dirancang dengan baik guna memperluas kemampuan manusia dapat meningkatkan daya saing organisasi.
Produktivitas dan kualitas perusahaan-perusahaan kecil di Jepang dipacu melalui proses adopsi teknologi manufaktur maju yang dapat meningkatkan daya saing secara efektif.
Dengan belajar dari pengalaman Jepang, sudah sepatutnya perusahaan-perusahaan manufaktur kecil di Indonesia mulai menggunakan teknologi mutakhir yang berguna dalam peningkatan daya saing industri. Salah satu upaya yang kini giat dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia adalah sistem bapak angkat, di mana diharapkan agar perusahaan besar memberikan bantuan teknis kepada perusahaan kecil, sehingga pada saatnya nanti ekspor Indonesia juga dapat terangkat.

Sumber Daya Manusia
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa sumber daya yang paling bernilai bagi peningkatan daya saing adalah sumber daya manusia. Hal ini jelas terlihat dari pengalaman Jerman dan Jepang yang bangkit dari kehancuran akibat Perang Dunia II. Kedua negara tersebut tidak tnemiliki banyak sumber daya alam. Yang mereka miliki hanyalah penduduk (orang). Oleh karena itu mereka memilih untuk mengem-bangkan dan mengorganisasi sumber daya manusia sebagai upaya pengembangan ekonomi mereka.
Banyak hal yang dapat kita pelajari dari kesuksesan Jerman dan Jepang, di antaranya adalah strategi yang mereka terapkan dalam mengelola sumber daya manusia sehingga dapat meningkat­kan daya saing di pasar global. Strategi tersebut antara lain terdiri dari:
1.    Kerja sama di antara perusahaan, tenaga kerja, dan pemerin­tah.
Baik di Jepang maupun Jerman menggunakan social partner. Sebelum Perang Dunia II, para eksekutif bisnis memiliki pan-dangan yang sama seperti Amerika yaitu cenderung individu-alis. Akan tetapi di Jerman misalnya, adanya krisis akibat kalah perang telah mengubah pandangan tersebut. Mereka mulai yakin bahwa pelaku bisnis haruslah bekerja sama dengan pelaku ekonomi utama lainnya dalam usaha membangun kem-bali masyarakat Jerman. Mereka juga berupaya menghubung-kan tujuan pribadinya dengan kepentingan negara yang lebih besar secara keseluruhan.
2.    Pendidikan dan pelatihan yang berkualitas tinggi.
Cara yang ditempuh oleh Jerman dan Jepang dalam hal penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan befbeda. Jerman menggunakan program magang yang sangat terstruktur yang menekankan pada pengembangan keterampilan dan prestasi akademik; sedangkan Jepang mengandalkan pendidikan dasar dan lanjutan yang dilengkapi dengan pelatihan yang bersifat industry-based untuk mempersiapkan karyawan garis depan (front-line).
3.    Keterlibatan dan empowerment karyawan
Baik di Jepang maupun Jerman, para karyawan dilibatkan dalam fungsi-fungsi yang secara tradisional dipandang sebagai fungsi manajemen di Amerika. Fungsi-fungsi ini meliputi penentuan jam kerja, pengenalan teknologi baru, penetapan tingkat kompensasi, perencanaan sumber daya manusia, perancangan pekerjaan, dan pengadaan pelatihan.
4.    Kepemimpinan pada setiap level
Di Jerman dan Jepang kepemimpinan terdapat pada setiap level dan pelatihan kepemimpinan disediakan tidak hanya bagi para manajer, tetapi juga bagi para karyawan front-line. Hal ini berguna dalam meningkatkan kualitas keterlibatan karyawan dalam usaha perbaikan terus-menerus.
5.    Kerja sama tim
Baik di Jerman maupun di Jepang, bukan hanya pekerjaan saja yang dilakukan oleh tim karyawan, tetapi perencanaan dan perancangan pekerjaan, pengenalan teknologi baru, dan pene­tapan tingkat kompensasi juga dilakukan oleh tim tersebut yang melibatkan wakil dari tenaga kerja dan manajemen.

BUDAYA KUALITAS SEBAGAI PENUNJANG DAYA SAING
Guna memahami budaya kualitas, terlebih dahulu perlu di-pahami konsep budaya dan budaya organisasi. Budaya mengandung berbagai aspek pokok (Bounds, et.al., 1994, p. 101), seperti:
      Budaya merupakan konstruksi sosial unsur-unsur budaya se­perti nilai-nilai, keyakinan dan pemahaman, yang dianut oleh semua anggota kelompok.
      Budaya memberikan tuntunan bagi para anggotanya dalam memahami suatu kejadian.
      Budaya berisi kebiasaan atau tradisi.
      Dalam suatu budaya, pola nilai-nilai, keyakinan, harapan, pemahaman, dan perilaku timbul dan berkembang sepanjang waktu.
      Budaya mengarahkan perilaku: kebiasaan atau tradisi meru­pakan perekat yang rnempersatukan suatu organisasi dan men-jamin bahwa para anggotanya berperilaku sesuai dengan norma.
      Budaya masing-masing organisasi bersifat unik.

Budaya organisasi adalah perwujudan sehari-hari dari nilai-nilai dan tradisi yang mendasari organisasi tersebut. Hal ini terlihat pada bagaimana karyawan berperilaku, harapan karyawan ter-hadap organisasi dan sebaliknya, serta apa yang dianggap wajar dalam hal bagaimana karyawan melaksanakan pekerjaannya.
Sedangkan budaya kualitas sendiri adalah sistem nilai organi­sasi yang menghasilkan suatu lingkungan yang kondusif bagi pem-bentukan dan perbaikan kualitas secara terus-menerus (Goetsch dan Davis, 1994, p. 122). Budaya kualitas terdiri dari filosofi, keyakinan, sikap, norma, nilai, tradisi, prosedur, dan harapan yang meningkatkan kualitas. Karakteristik urnum organisasi yang memiliki budaya kualitas adalah sebagai berikut:
   Perilaku sesuai dengan slogan.
   Masukan dari pelanggan secara aktif diminta dan digunakan untuk meningkatkan kualitas secara terus-menerus.
   Para karyawan dilibatkan dan diberdayakan.
   Pekerjaan dilakukan dalam suatu tim.
   Manajer level eksekutif diikutsertakan dan dilibatkan; tanggung jawab kualitas tidak didelegasikan.
   Sumber daya yang memadai disediakan di mana pun dan kapan pun dibutuhkan untuk menjamin perbaikan kualitas secara terus-menerus.
   Pendidikan dan pelatihan diadakan agar para karyawan pada semua level memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibu­tuhkan untuk meningkatkan kualitas secara terus-menerus.
   Sistem penghargaan dan promosi didasarkan pada kontribusi terhadap perbaikan kualitas secara terus-menerus.
   Rekan kerja dipandang sebagai pelanggan internal.
   Pemasok diperlakukan sebagai mitra kerja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar